Senin, 07 November 2011

Nilai Etika dan Estetika Dalam Pendidikan

Pragmatisme dan kekerasan kaum terdidik
PERGESERAN paradigma pendidikan tak semuanya membawa keuntungan. Selalu ada kelemahan, selalu ada celah kekurangan. Semula kita menganut paham bahwa pendidikan untuk membentuk karakter budi pekerti anak didik, namun pada gilirannya kemudian kita menganut paham pendidikan untuk melakukan transfer pengetahuan pada siswa. Kini kita sepaham, pendidikan diarahkan demi pemberdayaan siswa. Akan tetapi, mengapa kekerasan dan dehumanisasi justru kian mengeras, merasuki kehidupan geng remaja yang terselubung organisasi?
Bersamaan dengan gairah mencapai mutu pendidikan, kita mengadopsi Total Quality Management, yang dicangkok dari dunia industri. Kesalahan itu terjadi ketika kita menjadi pragmatis, bahkan sangat pragmatis, untuk mencapai mutu pendidikan yang mengutamakan kepuasan ”pelanggan” (siswa, orang tua siswa, dan masyarakat).
Siswa dinyatakan lulus dan berprestasi dengan standar angkaangka UN. Siswa melanjutkan pendidikan ditentukan pula dengan angkaangka UN dan kemampuan menanggung biaya pendidikan.
Tak ada lagi pembinaan budi pekerti. Tak ada lagi pembinaan moralitas. Tak ada lagi religiusitas. Lenyap sudah eksistensi para siswa sebagai manusia berbudaya. Bahkan, penalaran, sikap kritis, humanisme, lenyap dibentak ke bawah telapak kaki. Terjadilah kejutan-kejutan penyimpangan yang dilakukan kaum terdidik, di antaranya kekerasan geng yang dilakukan para siswa. Betapa tak berdaya moralitas guru, orang tua, dan masyarakat.
***
Kekerasan yang dilakukan kaum terdidik terhadap yuniornya demi tuntutan eksistensialisme remaja, menandai krisis jati diri dan moralitas, terselubung mata rantai geng yang merasuk antargenerasi. Ini buah kegagalan pendidikan keluarga dan masyarakat, yang mencorengkan aib di lingkungan sekolah. Apalagi kini dunia pendidikan kita telah terjebak pada paham pragmatisme itu ketika mengutamakan hasil (angka UN) yang diraih dengan jalan pintas (drill), dan bukan pemberdayaan nilai-nilai dan pengetahuan dalam penerapan kehidupan sehari-hari untuk menghadapi arus kuat goncangan kebudayaan di masa sekarang dan yang akan datang.
Memang banyak hal yang dianjurkan Total Quality Management (TQM) dalam pendidikan yang tak berbasis pragmatisme. Banyak di antara prinsip TQM selaras dengan kehendak kita melakukan pemberdayaan para siswa.
Prinsip kaizen adalah perbaikan sedikit demi sedikit (step by step improvement), membangun kesuksesan dan kepercayaan diri siswa dan mengembangkan dasar peningkatan selanjutnya.
Prinsip kaizen ini diinggkari dunia pendidikan kita. Tergoda kita untuk melakukan lompatan-lompatan besar, melupakan perkembangan proses demi proses. Kita lebih suka perubahan berskala besar yang pragmatis: penerapan kurikulum baru, memacu pembelajaran berskala global (imersi), membuka kelas akselerasi, dan pengadaan sarana-prasarana yang dibebankan para orangtua siswa melalui sumbangan pengembangan institusi (SPI).
Keunggulan kaum terdidik diarahkan pada pencapaian angka-angka kelulusan UN. Begitu mudah kita mengidentifikasi kesuksesan pendidikan dengan angka-angka UN. Bukan dengan perubahan kultur. Bukan dengan religiuasitas. Bukan dengan humanisme. Bukan dengan budi pekerti. Estetika dan etika telah jauh dicampakkan di bawah telapak kaki para siswa.
Penganiayaan senior terhadap yuniornya dalam geng-geng remaja belakangan ini menampakkan betapa para siswa tidak memiliki kebajikan. Bahkan, mungkin, mengalami kepribadian terbelah (split personality), yang menampakkan kealiman di sekolah, tetapi melakukan kekerasan di gengnya untuk menemukan krisis eksistensial.
Penyimpangan terhadap kebanggaan identitas diri yang menyeret para siswa melakukan kekerasan dan militerisme, demi ”ketangguhan”, menampakkan kebanggaan semu.
Mengapa sekolah-skeolah kita tidak menyempurnakan proses pendidikan sebagai charakter building, dan bukan sekadar transfer of knowledge? Sekolah-sekolah kita, dalam siasat mencapai kelulusan UN dengan angka yang tinggi, melakukan drill yang jauh lebih buruk dari proses transfer of knoowledge.
Tidakkah kita terketuk untuk memulai kembali pendidikan dengan semangat kecintaan, saling menghormati, saling menyayangi, dan saling asah-asuh? Tidakkah kita ingin mengembalikan pendidikan sebagai proses pembelajaran yang berorientasi pada pembentukan nilai-nilai?
Sudah mendesak, bagi kita sekarang, untuk melakukan pendidikan karakter melalui estetika (sastra, seni) dan etika (akhlak, moral, budi pekerti). Jadikan kedua unsur ini sebagai kriteria kenaikan kelas atau kelulusan. Atau, kalau memang kita ingin melakukan pendidikan karakter, belum terlambat untuk mematok kriteria kelulusan UN dengan estetika, etika, dan logika.
Jelas, untuk melakukan penilaian ini, guru yang bersangkutanlah yang memiliki peran, karena memahami perkembangan siswa secara langsung. Bukan negara yang merampas hak untuk menguji dan meluluskan siswa.
Mestinya guru menjadi model dan teladan bagi pembentukan pendidikan karakter. Para siswa yang unggul dalam estetika dan etika, mendapat penghargaan dan menjadi teladan bagai siswa yang lain. Selama ini kita selalu memuja pada prestasi sains, dan mengabaikan pencapaian-pencapaian prestasi estetika dan etika.
Segala upaya untuk mencapai prestasi sains selalu dianggap sebagai unggulan, sementara estetika dan etika dicampakkan.
***
Atmosfer pendidikan karakter yang merasuk dalam keseharian interaksi guru-siswa, tentu akan membalikkan krisis pekerti dan spiritualisme. Pragmatisme yang diterapkan para manajer pendidikan, sekilas memang mencapai prestasi sebagaimana yang diharapkan pemerintah, tetapi sungguh akan merusak karakter bangsa. Kita membentuk karakter manusia yang menyukai jalan pintas, keuntungan - keuntungan yang bersifat sementara, tanpa peduli dengan penderitaan orang lain. Terjadilah dehumanisasi kaum terdidik.
Sebagaimana Sokrates, mestinya guru membela ajaran ”yang benar” dan ”yang baik” sebagai nilai-nilai objektif yang harus diterima dan dijunjung tinggi oleh semua orang. Jangan dibiarkan anak didik mengembangkan pengalaman - pengalamannya sendiri yang menyimpang adri etika dan humanisme.
Jadikanlah sekolah sebagai proses pembudayaan (enkulturisasi) peserta didik. Dengan demikian, mereka menjadi manusia yang memiliki keadaban (civility) yang mengembangkan kecerdasan sosial, spiritual dan moral.
Kekuatan pembelajaran etika dan estetika akan mengembalikan para siswa menjadi manusia yang memiliki nilai humanisme dan cita rasa keindahan, yang biasanya dekat dengan pencerahan jiwa.
Ini mencegah kebrutalan. Menjauhkan para siswa dari perilaku sadis dan meretas ikatan-ikatan jaringan geng yang terselubung dalam dunia pendidikan.

Pengertian Etika

Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlaq); kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlaq; nilai mengenai nilai benar dan salah, yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Berbicara tentang etika yang kita lakukan sehari-hari, contohnya seperti kita sebagai mahasiswa. mahasiswa memiliki banyak aktivitas selain belajar sebagai tujuan utama menjadi mahasiswa. Mahasiswa sebagai subjek dapat memilih apa yang terbaik untuk dirinya. Relitanya aktivitas mahasiswa ada yang positif dan ada yang negatif, kembali kepada mahasiswa itu sendiri apakah ia menginginkan jalan yang baik atau tidak. Aktivitas positif mahasiswa selain belajar adalah mengikuti atau menyelami dunia organisasi di kampus, disiplin akan waktu, dan mematuhi segala peraturan yang tidak bertentangan dengan norma-norma yang ada. Sedangkan aktivitas negatif mahasiswa adalah bersikap anarkis dalam berdemonstrasi, tidak mematuhi peraturan yang berlaku, berbuat keonaran antar sesama mahasiswa atau mahasiswi, bergaul secara bebas tanpa mengindahkan peraturan yang ada dan melakukan tindakan curang yaitu menyontek disaat ujian.
Sedangkan secara sederhana yang dimaksud dengan Etika Bisnis adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan juga masyarakat.
Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil, sesuai dengan hukum yang berlaku, dan tidak tergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat.
Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis seringkali kita temukan wilayah abu-abu yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.
Von der Embse dan R.A. Wagley dalam artikelnya di Advance Managemen Jouurnal (1988), memberikan tiga pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika bisnis, yaitu :
• Utilitarian Approach : setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensinya. Oleh karena itu, dalam bertindak seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya serendah-rendahnya.
• Individual Rights Approach : setiap orang dalam tindakan dan kelakuannya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain.
• Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara kelompok.
Etika bisnis dalam perusahaan memiliki peran yang sangat penting, yaitu untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh.
Biasanya dimulai dari perencanaan strategis , organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang andal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen.
Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika bisnis akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang, karena :
• Mampu mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi, baik intern perusahaan maupun dengan eksternal.
• Mampu meningkatkan motivasi pekerja.
• Melindungi prinsip kebebasan berniaga
• Mampu meningkatkan keunggulan bersaing.
Tidak bisa dipungkiri, tindakan yang tidak etis yang dilakukan oleh perusahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan beroperasi dan lain sebagainya. Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai perusahaan.
Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika bisnis, pada umumnya termasuk perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yang tidak etis, misalnya diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier.
Perlu dipahami, karyawan yang berkualitas adalah aset yang paling berharga bagi perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan harus semaksimal mungkin harus mempertahankan karyawannya.
Untuk memudahkan penerapan etika perusahaan dalam kegiatan sehari-hari maka nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis harus dituangkan kedalam manajemen korporasi yakni dengan cara :
• Menuangkan etika bisnis dalam suatu kode etik (code of conduct)
• Memperkuat sistem pengawasan
• Menyelenggarakan pelatihan (training) untuk karyawan secara terus menerus.
Teori etika dibagi menjadi 2 yaitu :
*Etika Deontologi
Berasal dari kata Yunani yaitu deon yang berarti kewajiban. Etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Menurut teori ini tindakan dikatakan baik bukan karena tindakan itu mendatangkan akibat baik, melainkan berdasarkan tindakan itu baik untuk dirinya sendiri. Contoh: manusia beribadah kepada Tuhan karena sudah merupakan kewajiban manusia untuk menyembah Tuhannya, bukan karena perbuatan tersebut akan mendapatkan pahala.




* Etika Teleologi

berasal dari kata Yunani yaitu telos yang berarti tujuan, sasaran, akibat dan hasil. Menurut teori ini, suatu tindakan dikatakan baik jika tujuannya baik dan membawa akibat yang baik dan berguna. Dari sudup pandang “apa tujuannya”, etika teleologi dibedakan menjadi dua yaitu:

1. Teleologi Hedonisme (hedone= kenikmatan) yaitu tindakan yang bertujuan untuk mencari
kenikmatan dan kesenangan.
2. Teleologi Eudamonisme (eudamonia=kebahagiaan) yaitu tindakan yang bertujuan mencari
kebahagiaan hakiki.

Dari sudut pandang “untuk siapa tujuannya”, etika teleologi dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Egoisme Etis, yaitu tindakan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinnya sendiri.
2. Utilitarianisme, yaitu tindakan yang berguna dan membawa manfaat bagi semua pihak.